Senin, 21 Januari 2013

Informasi Salon Plus Tangerang dan sekitarnya

Rekan-Rekan berada dalam artikel : Informasi Salon Plus Tangerang dan sekitarnya
selamat membaca dan menikmati semoga bisa
menambah semangat sobat2 menghadapi hari demi hari....

Untuk sementara waktu artikel tentang :  Informasi Salon Plus Tangerang dan sekitarnya
sedang kami edit ulang untuk kepuasan smua pengunjuang blog.
setelah lengkap dan akurat segera kami posting kembali
artikelnya, trims sebelumnya

Untuk pengganti sementara artikel yang sobat2 cari, admin ganti
dengan cerita plus dibawah ini ya...
semoga ceritanya bisa menghibur sobat-sobat...


Aku Benar-Benar Nafsu

Minggu pagi ini, sambil meregangkan badan aku melepas selimut dan aku merasakan
sentuhan kain satin dasterku di puting buah dadaku dan entah kenapa rasanya
nikmat dan merinding kulitku dibuatnya. Terasa putingku membesar dan keras.
Cepat aku pergi mandi di shower, aku mandi air dingin. Air membuat kesegaran
tersendiri dan aku merasa vaginaku merebak terkena air sejuk yang mengalir
mengenai klitorisku. Kulitku meremang dan uhhh… aku tiba-tiba sadar bahwa aku
menginginkan batang panas untuk mengisi lubang nikmatku. Ahhh… dua bulan tanpa
garukan-garukan di situ. Lagi di tengah urusan itu kok tidak selera sekali ya.

Aku pakai handuk melilitkan di badanku dan menyisir. Dari jendela kamarku yang
di atas ini aku bisa melihat ke bawah dan Andi sedang mencuci motornya, ahh…
keponakan jauhku (dari sisi sex-ku) itu memang rajin. Walau dia sibuk dengan
kuliahnya di kedokteran dia suka dan rajin mengurus kebun luas di rumah ini juga.
Tiba-tiba ia ke belakang pohon dan membuka celana pendeknya, mau kencing! Aku
berhenti menyisir dan mengamati, astaga besar benar batang penisnya. Ia tak
sadar ada yang meperhatikan dan diguncang-guncangnya menghabisi sisa urine-nya
dan terasa kakiku melemah, lututku gemetar setelah 2 bulan tidak melihat penis
lelaki. Aku cepat ganti daster tipis pendek, BH dan CD tak sempat lagi kukenakan,
dan nafasku menderu berlomba dengan nafsu yang sudah tak tertahan lagi geloranya.

Kubuka jendela dan…

“Andi, tolong Mbak ya…” teriakku agak keras penuh rencana.

“OK, Mbak Asti…” sahutnya.

“Ini tolong dong ambilkan tas merah kecil di atas lemari tinggi itu, bawa tangga
kecilnya Di.”

Andi cekatan naik sambil memperhatikan pakaianku yang pendek menerawang, pahaku
yang putih terlihat hampir sampai ke atas. Tapi ia tak berani langsung
melihatnya. Aku tersenyum dan Andi naik ke atas tangga. Dicarinya di antara tas
dan koper di atas (memang tidak ada ), dan…

“Yang mana sih Mbak koq tidak ada?”

“Masa sih tidak ada, coba Mbak yang naik, pegangin lho tangganya, Mbak takut
jatuh.”

Aku naik ke anak tangga yang atas dan Andi memegang sisi tangga. Dan mulutnya
segera ternganga karena ia bisa melihat aku karena daster mini dan tanpa
mengenakan CD. Aku pura-pura tak tahu dan sibuk mencari-cari di atas.

Aku naik satu anak tangga lagi dan melebarkan kedua kakiku di tangga dan
membungkuk ke arah lemari sehingga Andi jelas bisa melihat semua itu dan dari
sudut mata kulihat Andi terbelalak.

“Lihat apa Andi?” tegurku.

Ia malu dan menundukkan kepala.

“Mmaa.. aaff… Mbak Asti…”

Aku geli melihat ia tersipu-sipu.

“Lha kamu kan sudah biasa di sekolah lihat yang gini kan”

“Wah… tapi Mbak Asti…”

“Tapi apa… ayoo…”

Aku turun lagi satu anak tangga. Lututku lemas sekali dan gelora nafsuku sudah
menggelegak rasanya

“Mau lihat lagi Andi?” tantangku.

Andi terkejut dan parau ia berkata,

“Bbbolehh Mbak?”

Kutarik sedikit rok dasterku, pahaku yang putih dan berbulu halus sekali
tersingkap dan bibir vaginaku pas di depan mulutnya.

“Ndi…” desahku, “Pernah mencium ginian tidak?”

“Bbbeelumm…” gemetarnya.

Suaranya tambah parau karena mulutnya terasa kering. Tiba-tiba aku tertawa
karena dari sisi atas celana pendeknya mendesak keluar kepala penisnya, rupanya
ia tak mengenakan celana dalam.

“Ini sih gara-gara Mbak Asti, aku jadi malu deh…”

Dia sudah tak kuat lagi dan disergahnya bibir vaginaku. Aku cepat mendekap
kepalanya dan “Ssshhh… ahhh… Andi cium terus Ndi… Mbak ingin sekali…” Andi
mencium kedua tepi bibir dan lidahnya mencari-cari dan menari-nari di atas tepi
bibir vagina. Klitorisku yang sebesar kacang merah mengeras dan keluar dari
ujung atas vaginaku dan “Ahhh… ahhh…” lidah Andi terasa melewati dan kasap
sekali seperti amplas. Aku sudah tak kuat lagi dan nafasku menderu-deru bak
angin puyuh. Andi mendekap pantatku dan diangkatnya aku dari tangga. Dasar anak
muda kuat sekali, dia menggendongku dalam posisi demikian. Aku pun tak takut
jatuh lagi, pikiranku nanar menikmati sedotan mulutnya.

Dibawanya aku keranjang besar dan direbahkannya lembut di sana. Sambil jalan
tadi mulutnya tak lepas dari vaginaku yang sudah kuyup dengan cairanku. Akhirnya
dalam 2 menit aku menjerit, “Aaauhhh…” dan kutekan dengan pinggangku dan
kulipatkan pahaku di sisi kepalanya dengan kuat. Mulut Andi menyedot kencang di
klitorisku dan meletuslah orgasmeku yang pertama sejak 2 bulan ini. Mataku
berkaca-kaca dan nanar. “Andi… Andi… enakkk… enakkk sekali… terus… terus… Ndi…”
keluhku. Kulihat Andi pun terengah-engah, “Mbak… Mbak… tolong lepas dong pahanya,
Andi hampir tidak bisa nafas nih…” Kulepaskan kempitan pahaku dan segera kududuk
bersimpuh di ranjang dan kutarik dasterku ke atas, terpana Andi melihat buah
dadaku masih keras dan berdiri dengan sedikit pongah dalam ukuran 38C.

Diulurkan secara pelan tangannya takut-takut, langsung kusambar dan kuletakkan
di atas putingku, segera diremas-remasnya bak tukang roti meremas-remas adonan
terigu. Putingku terasa tertekan di telapak yang kasap sekali dan seketika nanar
kembali pandanganku. Mataku berkaca-kaca. Nikmatnya langsung seperti listrik
mengalir spontan ke arah vaginaku yang baru saja orgasme. Kutarik, kutindih si
Andi dan sambil menarik ke bawah celana pendeknya, dan wess… batang penisnya
yang sudah keras sekali terpental kena pipiku. Di ujungnya terlihat cairan
bening tanda ia sudah benar-benar bernafsu sekali. “Aduh… aduh… Mbak… aku tidak
kuat lagi.. mau keluar…” Aku terperanjat karena lupa bahwa anak muda seperti
Andi belum bisa tentunya menguasai diri. Cepat kukulum kepala penisnya dan
kusedot sambil kumasukkan sampai hampir ke belakang mulutku. Perlahan kugerakkan
kenyotan dan lidahku terputar-putar di sekeliling kepala penisnya. Andi
terguncang di ranjang dan mengejang, terasa menahan geli enak dan dalam 1 menit
meledaklah mani dari buah zakarnya yang kuelus-elus. Telapak tanganku yang satu
meraba daerah antara zakar dan pantatnya, dan Andi tambah nikmat mengeluarkan
orgasmenya. Wah maninya banyak sekali dan memenuhi mulutku. Aku telan semua mani
Andi tak bersisa sedikitpun, kupijat batang penisnya yang masih keras itu sampai
akhirnya bersih semua. Kukeluarkan penisnya dan kelihatan berkilat merah darah
tua gundulnya itu. Berkilap-kilap basah. “Aduhhh… luar biasa enak sekali Mbak,
maaf ya saya tidak kuat lagi…” Matanya sayu dan masih sambil menikmati
ketelanjanganku. Aku menerkamnya dan memeluknya dan buah dadaku terasa kempes di
atas dadanya yang keras. Andi memerah wajahnya karena kemesraan yang kulakukan.
Di pahaku terasa penisnya mulai mengeras lagi, aku geli merasakannya, segera
membesar… membesar… dan kuremas lagi dengan tanganku. “Tuh Andi, apa itu tuh…?
Tidak apa kamu keluar tadi itu normal, sekarang mulai mekar lagi tuh…”

Vaginaku kuletakkan di atas batang penisnya dan… “Lihat nih Andi…” Aku mulai
menggosok- gosokkan dan menggeser-geser ke atas dan ke bawah dengan mulut bibir
vaginaku di atas batang penisnya. Terasa rambut kemaluannya menggelitik ke bibir
vagina dan ke batang panas itu. Andi ternganga dan tergagap-gagap menyaksikan
dan di depan matanya berayun-ayun buah dadaku, ia masih tak percaya apa yang
sedang terjadi. “Ndi, remas-remas buah dadaku lagi dong…” keluhku keenakan
menggosok vagina itu. Kuarahkan klitorisku dan terasa belakang kepala penisnya
menggaruk-garuk, enaknya tak terkira nikmatnya. Cairan dari lubang vaginaku
mengalir dan aku mulai jongkok. Kupegang penisnya dan kuarahkan ke mulut lubang
kenikmatan itu. Perlahan kuturunkan pinggangku dan… “Aahhh…” kepalanya kugaruk-garukkan
di bibir vaginaku sebelum perlahan kumasukkan. Andi terbalik-balik matanya
menahan nikmat yang tak terkirakan itu.

Sengaja aku berhenti setelah kepalanya masuk sedikit, dan senut-senut
kupermainkan otot bibir vaginaku (ilmu ini kudapat dari si Mbok Inem). Andi
merasakan betapa kepala penisnya seakan dipijat-pijat dan dinding bibir vagina
itu seolah menyedot dan menghimpit dengan halus. Lekukan bibir vagina itu pas
sekali ke kepala penisnya. Dia mencoba mengangkat pinggulnya akan memasukkan
lebih dalam dan aku terdiam saja masih jongkok, dan… “Bless…” masuk lagi
beberapa inci, dan akhirnya aku duduk di atas pinggang Andi. Pahaku menganga di
kiri kanan dengan seksi sekali, dan akhirnya seluruh penis sudah amblas ke dalam
lubang vaginaku. Rambut kemaluanku tersibak ke kiri dan ke kanan di antara
batang penisnya.

Aku terpejam menikmati betapa panas dan kerasnya batang itu meregangkan seluruh
lubangku yang sempit sekali. Agak sakit memang, karena lama sudah tak dikunjungi
daging keras itu. Perlahan-lahan kunikmati dan aku mulai menggerakan naik-turun,
kemudian teratur aku gerakkan pinggangku ke depan dan ke belakang. Andi pun
merasa penisnya seolah-olah diperah dan kepala penisnya terutama. Enak luar
biasa, ia mengimbangi dengan gerakan naik-turun juga. Aku sudah seperti
penunggang kuda. Buah dadaku tak dilupakan Andi, aku membungkuk sedikit sehingga
kedua melonku bisa diremas-remasnya dan… “Niiikmaaatt…” Aku percepat gerakanku
dan sekarang aku mulai gerakan penari Hawaii, hanya pinggulku yang bergoyang dan
gerakannya memutar lingkaran.

“Hehhh… ahhh…” garukan kepala penis di dinding vaginaku terasa luar biasa,
seluruh lekuk-lekuk lubangku terasa digaruk. Aku ingin tahu berapa lama Andi
kuat menghadapi manuverku, kukerahkan otot-otot vaginaku dan kulihat lagi mata
Andi sudah terpana, terbeliak-beliak sehingga kelihatan hanya putih biji matanya
saja dan mulutnya mengeluarkan suara seperti tak ada artinya. “Ahhh… ahhh…
akkkhh… Mbak Asti… Mbak Asti… enakkk…” Tangannya sekarang memegang dan meremas
bukit pantatku. Dan aku sendiri merasa orgasmeku mulai bergelora menuju
puncaknya. Aku seperti penunggang kuda menaiki kuda liar dan naik-turun putar…
putar… putar… Buah dadaku terasa bebas sekali terpental pental, rambut
kemaluanku dan rambut kemaluan Andi terasa bersatu tiap aku meremas memutar di
atasnya, “Ahhh ahhha ahhh…” Akhirnya meletuslah orgasmeku dan aku masukkan dalam-dalam
penis Andi dan kulebarkan pahaku di sisinya dan kugosok keras keras bibir
kemaluanku di atas rambut kemaluannya, dan… dan… dan… Andi pun meletus lagi
orgasmenya, “Srottt… serrr…” terasa maninya menyemprot di dalam lubangku tapi
tak kuperhatikan lagi. Aku sendiri seperti lupa diri memutar mutar pinggangku
dalam gerak melebar dan meremas kuat batang penis Andi.

Akhirnya aku lemas rebah di atas dadanya.

“Mbak Asti luar biasa deh… aku senang sekali bisa diperawani oleh Mbak Asti…”

“Apa? Oh kamu tuh belum pernah toh… Di… Aku kira kamu sering sama-teman
mahasiswi atau suster-suster di rumah sakit, kan pada cantik-cantik…”

Andi memerah wajahnya dan berkata,

“Aku pemalu Mbak… jadi tidak pernah dapat. Sekarang aku dapat sama Mbak Asti,
aku senang sekali… boleh lagi tidak…?”

Aku cubit zakarnya.

“Tentu.. tentu.. boleh Ndi… asal kamu tidak bosen saja, Mbak kan sudah tua,”
godaku sambil meremas-remas buah zakarnya.

Ayo kita mandi saja bareng.

Siang itu aku selesai dengan Andi, lalu aku berbenah dan pergi ke rumah Mbak
Nani di seberang. Ia seorang janda seumurku, tapi aku tahu juga ia suka menerima
laki-laki. Nani sebenarnya teman aerobikku di tempat senam. Dengan Mbak Nani aku
sama-sama berdagang berlian untuk tambahan penghasilan, karena ia banyak
relasinya di Dharma Wanita sewaktu suaminya masih ada. Badannya tinggi, hampir
sama dengan aku yang 178 cm dan buah dadanya pun ukurannya 38D. Nani tidak punya
anak dan di rumah ia tinggal bersama 2 sepupu wanita dan adik-adik suaminya yang
masih pada sekolah, ada yang SMA dan ada yang sudah kuliah. Aku jarang ke
rumahnya selama ini karena dulu suamiku dulu tak suka aku bergaul dengan dia.
Entah kenapa.

“Mbak, Mbak Nani…” panggilku sambil mengetuk pintu.

Kok sepi ya? Aku masuk dari pintu samping dan rupanya sedang pada pergi karena
motor anak-anak pada tidak ada.

“Mbak…?”

“Ohh… Ibu Asti,” sambut pembantunya, Mbok Warsih.

“Ibu Nani kemana ya? tadi sih ada, mungkin mandi… maaf ya Bu, Mbok lagi nyuci
piring nih, Bu Asti masuk saja.”

Aku masuk ke ruang tengah dan duduk di sofanya, dan aku tiba-tiba mendengar
suara sayup-sayup mendesah-desah. Jantungku berdegup seketika mendengar suara
yang amat familiar kukenal itu. Perlahan-lahan kucari sumber suaranya, dan
ternyata datang dari kamar atas, kamar Mbak Nani. Aku naik berjingkat-jingkat,
aku masuk ke lorong di atas dan benar! Dari kamar Mbak Nani, lagi ngapain dia?
Lututku terasa lemas lagi mengingat Andi tadi pagi, dan terasa bibir vaginaku
melembab dan empuk lagi. Nafsuku mulai berkobar-kobar membayangkan apa yang
mungkin sedang berlangsung di kamar Nani.

Nahh… kamarnya tidak tertutup, pintunya masih terbuka sedikit, perlahan kudorong
dan kusingkap gordin kamar dan astaga… Mbak Nani sedang disetubuhi dan posisinya
ia berlutut menungging, pantatnya tinggi ke atas dan goyang pinggulnya kencang.
Aku tak bisa melihat jelas siapa laki-laki itu, tapi mataku terbelalak dari
posisiku jelas melihat penisnya keluar masuk cepat ke lubang vagina, dan saking
pasnya terlihat bibir vagina itu tertarik keluar setiap batangnya ditarik keluar.
Batang itu… oh… batang itu basah berkilap-kilap keluar-masuk keluar-masuk dan
buah zakarnya bersih sekali kemerahan tak ada rambut sama sekali. Paha Mbak Nani
pun basah dengan aliran cairan dari vaginanya berkilat kilat kena cahaya.

Lututku benar-benar lemas, dan celana dalamku membasah. Aku hampir jatuh saking
lemasnya, dengkulku dan aku berpegang pada amban pintu. Perlahan kudorong lagi
pintunya lebih lebar dan keduanya benar-benar kerasukan, sehingga tidak melihat
pintu membuka lebih lebar. Kakiku benar-benar terasa seperti agar-agar jelly,
lemas. Aku berpegang pada amban pintu dan Mbak Nani pun dalam badai nafsunya
terlihat memutar pinggulnya mengikuti enjotan dari lelaki itu. Buah dadanya
terpental-pental dan desahnya benar-benar menghanyutkan, sepeti suara binatang
sedang birahi. “Ahhh… shh ssshhh Mas Mas…. enakkk… Uhhh uhhh… hmmm…” seru Nani.
Tiba-tiba mereka meregang dan meletup-letuplah orgasme mereka dan terbadai-badai
buah dada Mbak Nani karena binalnya ia menjepit penis itu. Dan terpuruk ia
dipelukan lelaki tadi dari belakang.

Nafas mereka memburu terengah-engah seperti pelari maraton. Siapa lelaki itu?
Perlahan aku mundur dan terduduk di kursi tamu di beranda kamar itu. Nafasnya
masih tak terkendali dan celana dalamnya kuyup. Aku bingung mesti ngapain dan
aduh gatalnya lubang vaginaku, gila aku tadi baru dengan Andi, kok sekarang
sudah begini lagi. Kurapatkan pahaku kencang dengan harapan sedikit terbantu.

Masih tetap membara dan akhirnya aku tidak kuat lagi dan aku buru-buru pulang
berharap Andi masih di sana. “Andi… Andi…” seruku dengan parau. Begitu masuk ke
rumah, kok tidak menjawab, pikirku. “Andii…” aku mencari ke paviliun, wah kosong
semua, sudah pergi dia, keluh kecewaku. Aku naik ke atas dan segera membuka
semua bajuku. Mandi, pikirku untuk meredakan ini. Aku terdiam di bawah shower,
aduhhh… aliran air malah tambah merangsangku. Bagaimana ini, bagaimana, ah
masturbasi saja, dan kuraba klitorisku yang sudah nongol keluar, “Shhh… shhh
enakkk…” tiba-tiba terdengar suara bel pintu. “Aduh siapa lagi… Andi pulang?”
harapku. Aku segera mengambil handuk dan kulibatkan di sekeliling tubuhku yang
sintal, wah… kurang besar. Kugenggam saja handuk itu biar tidak copot.

Bel berbunyi tak sabar lagi, dan aku cepat turun, kupikir lihat dulu siapa dan
kalau tidak kenal biar tak kubuka, aku mau masturbasi, kesalku. Dari jendela
kulihat, wah ternyata anak pengantar koran, anaknya Pak RT di ujung jalan. Aku
bimbang apakah mau membuka pintu atau tidak? Bagaimana aku, hanya handukan saja.
Entah kenapa, impulsif kubuka juga dan aku melihat anak lelaki dengan mulut
ternganga terbesar begitu dia melihatku hanya berhanduk dan masih basah kulitku
dan rambutku. Dalam hati, aku senang karena berarti aku OK dong.

“Ya…?” tanyaku.

“Oh maap Mbak… eh Ibu… mau nagih uang koran.”

Ihh sialan, hanya mau nagih, batinku.

“Bisa lain kali?” ujarku.

“Oh eh… bis bis… bisaa…” paraunya.

Lho kok ia menutup-nutupi depan celananya. Tiba-tiba aku sadar bahwa anak ini
sudah lumayan besar, mulai deh aku berpikir lain.

“Eh iya deh, aku bayar saja, masuk dulu deh… aku baru mandi,” kataku.

“Ah biar di sini saja Mbak, eh Ibu…”

Kuulurkan tanganku dan kutarik saja masuk dan ia jalan agak membungkuk-bungkuk,
rupanya mencoba menyembunyikan sesuatu.

“Kenapa sih?” tanyaku, “Kamu sakit pinggang?”

“Ah.. ah… eh… tidak… tidak…” katanya.

Mukanya merona merah sekali.

“Ya sudah ayo masuk ke sini!”

Kutarik lagi dan kubawa ke ruang tamu.

“Duduk deh…” lau dia duduk, “Namamu siapa?”

Aku masih berdiri di depannya dan tetesan air masih mengalir di pahaku. Si anak
itu matanya terbelalak melihat paha mulusku di depan mukanya.

Apa… apa… apa Mbak…” gelagapan terus dia.

Aku tambah geli saja.

“Oh saya namanya Banu…” jelasnya hampir berbisik.

Matanya masih menatap pahaku yang basah, pori-poriku masih menggremeng sehingga
bulu-bulu halus di situ kelihatan berdiri.

“Banu mana bonnya?” tanyaku.

“Oh oh… iya ini…”Tangannya menggapai tas yang ditaruhnya di atas pahanya dan aha…
rupanya ia berusaha menutupi penisnya yang sudah tegang berat. Ha ha ha, aku mau
menikmati siang ini untuk melepas dahaga gara-gara Nani tadi. Biar deh anak Pak
RT sudah besar juga kok. Tapi aku mesti hati-hati supaya dia tidak shock.

“Ini buat bulan lalu ya Ban?” tanyaku sambil mengambil kwitansi dan aku jalan ke
buffet tempat aku menaruh dompetku.

“Ii.. iiiya… Tante eh Ibu eh… iya…” katanya.

Dari kaca di atas buffet aku melihat matanya mengikuti goyang pantatku di balik
handuk yang nyaris tak menutupi pantatku dan pasti bulu di sela-sela pahaku bisa
dilihatnya. Sengaja kuregangkan kakiku dan matanya membesar dan membesar. Aku
pura-pura mencari-cari dompet dan membelakangi dia dan matanya sudah terkunci ke
pantatku yang sintal. Lalu aku berjinjit dan pura-pura mencari di atas lemari
tepi buffet sehingga handukku naik ke atas juga. Ha ha ha, pasti dia melihat
lebih jelas lagi ujung vaginaku sekarang.

Aku tiba-tiba membalik dan Banu sudah pucat dan seperti orang dihipnotis saja.
Aku balik membawa dompetku dan sengaja aku duduk di seberangnya. Kukangkangkan
kakiku sehingga handukku naik ke atas paha. Aku pura-pura meneliti rincian
kwitansi dan Banu matanya menjalang mencoba mencari apa yang akan bisa
dilihatnya. Aku sendiri sudah basah kuyup, vaginaku lemas membayangkan mau
menikmati anak ini.

Tiba-tiba aku bertanya,

“Eh kamu hari Minggu koq tidak pergi main-main sih? kan bisa besok nagih.”

“Aa.. aku pengen beresin ini Bu…” katanya.

“Masih banyak yang mesti ditagih?” tanyaku lagi.

“Tidak, ini terakhir.”

“OK, ini uangnya dan terima kasih ya,” kataku sambil berdiri.

Terlihat mukanya kecewa karena mungkin inginnya sih apa ya? (mana aku tahu dia
mikir apa, yang jelas tegangnya masih tuh di balik celana pendek jeansnya).

Dia berdiri dan cepat ditutupkannya lagi tasnya di depan kemaluannya.

“Eh Banu, mau bantu Mbak tidak?” tanyaku.

Dengan sergap ia menjawab, “Mau…” katanya senang.

“Ini Mbak mau pakai krim tapi susah kalau di belakang punggung. Mau tidak kamu
bantuin oleskan.”

Wah kalian mesti lihat ekspresi mukanya, seperti orang menang lotere 1 juta
dolar tuh.

“Ayo sini naik ke kamar Mbak deh!” ajakku.

Berdebar-debar aku membayangkan ini semua. Lubang vaginaku sudah bukan main
gatelnya. Aku berbaring telungkup tanpa melepas handuk setiba di kamar.

“Itu Ban, ada di meja hias yang warna putih botolnya.”

“Ini ya Mbak?” katanya cekatan.

Ia sudah lupa dengan tasnya dan celananya seperti sebuah tenda dengan tonggak
tegak lurus.

“Yep….. itu dia Banu. Ini mulai dari pundak atasku ya Ban.

Ia duduk di pinggirku dan nafasnya terdengar terengah-engah. “Srr…” duh
dinginnya krim itu ketika ia mulai mengoles pundakku. Tangannya terasa hangat
sekali dan gemetar.

“Banu kamu pernah tidak ngolesin body cream gini?” tanyaku untuk membuat ia
relaks.

“Ahhh… nggak pernah. Mbak cantik sekali dan kulitnya halus bener deh,” katanya
sambil terus mengoleskan krim.

Ah enak, dan pahanya terasa menempel pada sisi tubuh atasku.

“Eh Mbak, ini handuknya ngehalangin,” katanya lebih berani.

Aku berdebar dan… “Oh iya… dorong saja…” tangannya mendorong sisi atas haduk di
punggungku dan ditambahkannya krim dan dioleskannya ke punggungku.

“Mbak.. eeeh… saya buka saja ya handuknya.”

Ah… batinku, berani juga anak ini. Kuangkat sedikit badanku dan ditariknya
handuk dan jadi longgar dan copot. Buah dadaku terasa sedikit pedih waktu
ditariknya handuk itu dan telanjang bulatlah aku. Dari kaca meja hias aku lihat
Banu ternganga lagi melihat tubuh mulus dan montok tersaji di depan matanya. Ia
lupa mesti memberi krim. Aku pun menahan nafsuku dan tetap terlungkup.

“Eh Banu ayo dong! ngeliatin apa sih kayak belum pernah ngeliat wanita,” desahku
merangsang.

“Oh iya iya…”

Dia mengoles lagi dengan sigapnya, tangannya teasa tambah hangat.

“Hmm, pantatnya juga tidak Mbak Etty?”

Hi hi hi dia panggil aku pakai nama Etty, lucu rasanya karena sudah lama tidak
dipakai nama itu.

“Iya,” ujarku.

Dan “Seerr…” rabaan tangannya membuatku mendesah keenakan dan suasana di kamar
itu sudah penuh dengan hawa nafsu saja. Rabaan tangannya mulai mengcengkeram
kedua bukit sintal, dan aku pelan-pelan merenggangkan pahaku dan kuangkat
sedikit pantatku. Banu pindah ke dekat pahaku dan aku geli karena pasti dia
ingin lihat vaginaku. Sengaja kuangkat terus dan kulebarkan lagi pahaku dan
tangannya masih meremas-remas (bukan ngolesin lagi cing).

Kulihat ia menjilatkan lidahnya ke bibirnya dan tangannya mendekat ke arah paha
dan jempolnya kiri dan kanan mendekat ke vaginaku sambil tetap meremas-remas
pantatku sebelah bawah. Aku pun tak sadar mendesah-desah keenakan dan terasa di
sebelah dalam pahaku mengalir cairan dari vaginaku. Aku diam saja supaya Banu
tidak malu dan kuintip terus dari kaca kelakuannya. Diulurnya jempolnya dan
terasa sentuhan halus di tepi bibir vaginaku. Enak dan aku angkat lagi pantatku
dan jempolnya menyentuh lebih berani. Aku menahan terus nafsuku, maunya sih aku
sudah berbalik dan kuterkam saja si Banu ini tapi itu akan mengurangi nikmat.
Banu melihat aku diam saja dan jempolnya tambah ke dalam pahaku dan ia kelihatan
terkejut merasakan lincir dan hangat, basah sekali bibir vaginaku. Ia melihat
aku tetap terdiam, aku menggigit bantal yang kupeluk dan terasa puting susuku
gatal sekali juga. Kutahan nafsuku dan kubiarkan dia eksplorasi dulu.

Nak Banu… aduhh…” keluhku, “Shhh… enak sekali…”

Dan kakinya tambah dikangkangkannya lebar-lebar, pantatnya naik sedikit sehingga
vaginaku sudah terpampang di mata Banu yang terbelalak. Tenggorokannya kering
sekali dan tangannya dingin. Bulu kemaluanku sudah menempel karena kuyup. Jari
Banu meremas-remas pantat dan paha atas. Dilihatnya vagina merekah dan bau khas
seperti laut begitu merambah hidungnya membuat suasananya tambah merangsang.
Dasar anak masih “ijo” dia tak tahu mau ngapain. Aku biarkan jarinya mendekat ke
bibir vaginaku dan kutahan nafas mengantisipasi enak yang bakal kurasakan.
Kutinggikan lagi pantatku dan terasa jarinya menyentuh dan mulai menggosok
dengan rasa ingin tahu sambil takut dimarahi. Aku berbisik, “Terus Banu… paha
dalam ibu itu perlu juga,” aku memberanikan dirinya, dan aku lebarkan lagi
pahaku sehingga betul betul sudah bebas terlihat belahan vaginaku dari belakang
situ. Jari-jari Banu mulai mendekat lebih jauh ke lubang dan bibir-bibir kiri
dan kanan vaginaku dan mengorek-ngorek. “Aduhhh… nikmat sekali…” Jari tengah
Banu masuk ke lubang basah dan keluar-masuk, ia mengorek-ngorek tanpa tahu apa
yang harus dikerjakan. Kutuntun tangannya dan kutangkupkan pada vaginaku dan
jari telunjuknya aku letakkan di atas klitorisku “Gosok dan gelitik Banu!”
kataku. Pantatku tambah tinggi sehingga aku hampir berlutut. Pantatku sudah
hampir setinggi mulut Banu yang ternganga selebar pintu Tol.

Dengan pelan tanganku meraba paha Banu, seperti orang kena listrik ia mengejang.
“Jangan takut Banu, Ibu tidak apain kok.” Aku naikkan lagi dan penisnya yang
sudah keras luar biasa terasa di luar celana pendeknya. Aku elus-elus dan ia
seperti orang kesurupan, matanya terbalik-balik keenakan, dan kutarik celananya
ke bawah, ia berdiri dan bebas merdeka batangnya itu. Kugenggam erat-erat dan
aku bilang, “Banu kamu ke belakang situ dan tempelkan penismu ini ke mulut
lubang vagina.” Aku menungging berlutut, pantatku tinggi ke atas dan posisi
vaginaku sudah terbuka lebar. Banu mendekat dan sambil memegang penisnya ia
mengarahkan ke vaginaku.

“Ahhh.. ahhh… enak Banu…”

“Iya Mbak enak sekali…”

Aku pegang penisnya dan pelan-pelan kuamblaskan ke dalam lubang vaginaku. Gila
panas sekali batangnya itu. Dan aku mulai berayun-ayun ke depan dan ke belakang.
Banu pegangan pada pinggulku, buah dadaku berayun-ayun menggelantung bebas. Dan
pelan sekali kusedot penis Banu dalam vaginaku, kugerakkan otot dinding vaginaku
bergelombang-gelombang. Di kaca aku melihat posisiku dan Banu, sungguh
pemandangan luar biasa. Anak masih “ijo” itu antusias sekali dan kelihatan ia
masih bingung-bingung. Terus kugenjot dan Banu mulai pintar mengikuti gerakannya,
dan terasa batangya maju-mundur menggaruk-garuk dinding vaginaku dengan nikmat
sekali.

Dan 2 menit kemudian meledak-ledak orgasmeku dan ia kujepit dengan kencang dalam
vaginaku sampai terasa seperti kuperas batangnya sampai kering dari spermanya.
Terdampar Banu di atas punggungku dan aku rebah ke ranjang. Penisnya masih
setengah tegang dan terasa berdenyut denyut. Itu pengalaman Banu pertama.

Aku tertidur setelah itu dengan enak sekali, sungguh segar. Besoknya aku sibuk
di kebun sampai sore, dan siangnya aku tidur lagi sebentar, rencanaku anak
kostku yang lain akan kupetik perjakanya. Jam 06.00 sore aku mandi dan dandan
sedikit, aku kenakan daster tipis. Setelah itu aku duduk di kamar tamu membaca
koran sore menunggui anak-anak kost pulang kuliah sore.

Ketukan di pintu menyadarkan aku dan aku bilang, “Iya…” Andi masuk dan ia senyum-senyum.

“Ada apa Andi? nggak jadi nginap di rumah Anwar ya?” kataku manis.

Aku tak bangkit dari ranjang, dasterku agak tersingkap kubiarkan. Mata Andi
segera melihat itu dan senyum lagi.

“Anu Mbak Etty. Perlu apa-apa tidak?” katanya sambil mendekat.

“Oh ini Mbak Etty…” katanya sambil duduk di sampingku dan tangannya memegang
tanganku.

“Tapi tidak boleh marah ya… Herman, Toni kan masih SMA, mereka baru dapat
pelajaran biologi dan sering nanya-nanya, aku tapi sulit juga menjelaskan kalau
tidak ada peragaan.”

“Lha iya, kamu kan di kedokteran bisa dong ngejelasin,” kataku.

Elusan tangannya membuat hatiku berdesir lagi dan vaginaku langsung mendenyut. (Gila
nafsuku besar sekali sih batinku).

“Lalu kenapa?”

“Ini lho, tapi bener ya tidak boleh marah?” kata Andi lagi.

“Iya sudah, apa sih susah banget mau ngomong. Kamu perlu uang buat beli peta
biologi?”

“Eh tidak, sebenernya sudah ada tapi perlu bantuan Mbak Etty,” kata Andi lagi.

“Gini Mbak, mereka ingin tahu tubuh wanita dan aku pikir paling gampang kalau
Mbak Etty tidak keberatan aku pakai tubuh Mbak buat peragaannya.”

“Ha.. ha.. ha… Andi kamu ada-ada saja, malu ah,” kataku sambil berdebar-debar
dengan pengalaman baru ini.

“Boleh tidak Mbak?” desak Andi lagi.

“Iya dah, tapi gimana? aku mesti apa?”

Baru aku bilang begitu pintu kamar sudah terbuka dan masuk Herman dan Toni.
Kurang ajar dari tadi mereka nguping di pintu. Aku agak menjerit karena kaget.
Herman dan Toni malu-malu dan mukanya merah. Andi mengajak mereka ke tempat
tidurku dan katanya, “Mbak saya lepas ya dasternya.” Aku malu, karena aneh
rasanya ada 3 lelaki muda di kamarku. Tapi gemuruh di dadaku menggebu-gebu
membayangkan tubuh ke-3 anak muda ini. Aku hanya bisa manggut-manggut, lidahku
kelu dan duh vaginaku sudah langsung melembab dan lembek terasa hangat bibir
vaginaku. Aku duduk dan kuangkat dasterku dan waktu tanganku ke atas buah dadaku
langsung bebas menggelinjang sintal dan kulihat mata ke-3 anak itu membelalak.
Aku menutup buah dadaku dengan daster yang sudah lepas dan Andi mendekat lagi. “Mbak
baring ya, tangannya ke atas. Ini kita serius kok Mbak, mereka besok ujian. Jadi
Mbak tidak usah malu karena membantu nih.” Tanganku ditariknya kedua-duanya ke
atas dan buah dadaku munjung dengan bebas dan seksi sekali. Kulirik dan duh
mereka sudah pada tegang. Aku berbaring hanya bercelana dalam segitiga kecil
sekali hampir tak bisa menutup vaginaku dan di depannya jelas sekali basah sudah.

Andi juga suaranya bergetar karena menahan nafsu, aku rasa. “Ton, Man sini kamu
di sisi sana biar aku jelaskan tentang buah dada,” katanya sok seperti dosen.
Herman dan Toni berdesak-desak dengan gesit mendekat. Andi memegang buah dadaku
dan menjelaskan bahwa ini adalah buah dada yang sehat dan terpelihara baik
katanya sambil meremas, dan katanya, “Nah kamu coba pegang dan remas-remas!
Herman kamu perah yang sini dan Toni kamu coba kekenyalan yang satunya, kemudian
gantian dan bandingkan.” Mata mereka jalang sekali dan kedengaran desah nafas
mereka yang sudah tak beraturan. Aku sendiri begitu diremas Andi tak sadar
mendesah enak. Dan seketika kedua anak itu rebutan meremas-remas kedua buah
dadaku, dan banjirlah cairan di vaginaku.

“OK.. OK.. sudah sudah cukup!” seru Andi, “Sekarang lihat ini, ini adalah puting
susu dan di sekitarnya ini disebut aerola,” katanya sambil memelintir putingku
ke kiri dan kanan, aku menggelinjang geli. “Ini kalau sehat akan bereaksi bila
disentuh atau dirangsang sehingga mengeras,” lanjutnya. “Nah coba kamu pegang
puting seorang satu ya… dan pelintir seperti ini!” katanya sambil mencontohkan
dijepitnya puting susuku di antara jempol dan jari telunjuknya dan diputarnya
putingku. Aduh seketika aliran syarafku ke vagina tambah enak rasanya. Vaginaku
terasa kuyup dan mengalir ke sisi pahaku. Celana dalamku tak dapat menampung
lagi cairan itu. Herman memelintir puting susu kiri dan Toni di buah dada
kananku. Aku tak sadar kakiku sudah mengempit dan bergoyang-goyang menahan rasa
geli dan pinggulku bergeser-geser di ranjang. Andi sendiri memperhatikan kedua
anak itu praktikum di puting susuku dan keduanya asyik sekali. Diremasnya
vaginaku dari luar celana dalam sehingga aku sudah kehilangan sadar dan rasa
malu. Gelinjang-gelinjangku sudah seperti kuda liar.

“Andi… Andi… ooohh… Gila kalian ayo dongg…” Pelintir-pelintiran tangan Tony dan
Herman masih terus dan mereka seperti anak kecil dapat mainan. “OK OK, stop dulu!”
muka keduanya kecewa dan mereka menurut sekali. “Sekarang kita beralih ke bagian
sini,” katanya sambil meremas vaginaku. Aku senang sekali serasa akan mendapat
pelepasan. Mereka semua jelas-jelas sudah ereksi penisnya tapi masih menahan
diri. Sebenarnya aku yang sudah tidak tahan ingin sekali vaginaku dimasuki
batang panas dan aku gembira sekali membayangkan ada 3 penis panas. “Ini namanya
vagina,” kata Andi sambil meremas-remas terus dari luar CD-ku yang sudah kuyup.
“Mas Andi, kenapa kok basah gitu sih?” tanya Toni dengan polos sambil agak
bergetar dan parau suaranya. “Oh ini,” kata Andi sambil memegang depan CD-ku. “Ini
biasa kalau wanita sedang birahi maka akan keluar cairan-cairan seminal seperti
ini. Dan maaf Mbak Etty, saya turunkan ya celananya!” Lagi aku tak bisa menjawab
kelu lidahku dan aku hanya manggut cepat dan kuangkat pantat dan pinggulku. Andi
menyelipkan tangannya ke samping CD-ku dan menariknya turun, seketika terbukalah
vaginaku dan Herman maupun Toni tambah besar saja belalak mata mereka.

Andi mengelus-elus vaginaku dan mengatakan, “Ayo kalian pindah ke sini dekat
paha Mbak Etty biar jelas,” katanya. Nafas Andi pun mendengus-dengus, aku rasa
kalau dibiarkan ia sudah mau menancapkan penisnya ke dalam lubangku. Andi
menjepitkan jarinya pada bibir vaginaku yang tebal, empuk panas dan menyibak
bibir vaginaku dan menariknya keluar, “Nah ini namanya labia, bibir vagina,”
kata Andi. “Coba kalian rasakan, dielus-elus seperti ini!” katanya lagi. “Ahhh…
nikmat sekali…” Herman dan Tony dengan gemetar memegang seorang sebelah dan
menariknya. Kemudian mengelus-elus dengan ujung jari-jari mereka. Gila geli
sekali, dan aku senang karena mereka serius dan semangat sekali (iya lah mana
tidak semangat melihat vagina begitu cantik). Ada dua menit mereka menarik-narik
pelan dan mengintip-intip dari dekat, dengus nafas mereka geli sekali kena
pahaku di atas. Dan Andi menghentikan mereka. “OK, berikutnya perhatikan
bentuknya ini,” katanya sambil menyibak rambut kemaluanku yang sudah kuyup oleh
cairan vaginaku. Aduh, itu cairan mengalir kemana-mana terasa sampai ke lubang
duburku. “Ini adalah klentit atau klitoris,” katanya sambil menarik kacangku
yang sudah keras sekali. Di dorongnya keluar di antara kedua jarinya dan lihat…!”
katanya lagi. “Ini kalau disenggol akan mengeras seperti ini.” Dan dimain-mainkannya
dengan ujung jarinya klitorisku itu.

Mataku gelap rasanya seperti mau pingsan karena enak sekali. “OK, kamu coba Man,”
katanya ke Herman, dan Herman dengan semangat menggoyang klitorisku dan ia juga
bereksperimen menjepit klitorisku dengan kedua jari dan memilin-milin. Pantatku
menggelinjang-gelinjang liar dan Tony aku lihat sepintas ternganga melihat
kelakuanku. Andi sementara itu tak tinggal diam, ia memeperhatikan kedua anak
itu sambil meremas-remas memerah buah dadaku. Aku lemas dengan nafsu yang sudah
memuncak sekali. Pahaku sudah ngangkang lebar sekali dan bau mesum dari vaginaku
memenuhi kamar. Badanku terasa hangat sekali dan betapa lubang vaginaku
mengharapkan batang panas, tapi aku masih mengikuti semua permainan anak-anak
ini. “OK, sudah!” katanya setelah Toni juga mendapat giliran. “Sekarang seperti
ini kalian harus tahu bahwa lubang vagina ini sangat sensitif jadi tidak boleh
kasar kalau mau memeriksa.” Andi memasukkan jari tengahnya yang kasap ke dalam
lubang vaginaku dan begitu masuk dinding vaginaku langsung mendenyut
mencengkeram, “Senut… senuttt…”

“Usahakan kuku kalian harus sudah digunting dan tidak tajam, karena kalau sampai
luka sulit nanti sembuhnya,” katanya sok tahu seperti dosen sungguhan. “OK,
kalian coba masukkan dan gosok gosok seperti ini keluar-masuk,” katanya. Aku
terbadai saja di ranjang dan kedua anak ini bergantian memasukkan jari tengahnya
memasturbasi aku, entah berapa kali sudah aku orgasme. Seprei ranjang sudah
kusut seperti kapal pecah. Andi terus meremas-remas buah dadaku sambil memainkan
puting susuku. “Nah sekarang kita harus mengerti juga bau vagina yang sehat
seperti ini,” kata Andi. Ia mendekatkan hidungnya ke lubang vaginaku dan
hembusan nafasnya yang panas menambah bara nafsuku. Kalau aku tidak menahan diri
sudah kuterkam si Andi ini dan kutunggangi penisnya. Aku masih play along dengan
mereka. Kemudian Andi berbicara lagi. “Dan kita juga perlu menjilati untuk tahu
rasanya cairan ini,” katanya sambil bibirnya langsung menerkam vaginaku. “Ahhhh…”
jeritku keenakan. Dan lidah kasapnya segera bermain di sekitar situ, kira-kira
semenit ia dengan berat hati melepaskan dan…”OK, sekarang Toni kamu coba!” Toni
dengan cekatan mendekat dan memasukkan mukanya di antara selangkanganku yang
sudah kubuka lebar-lebar.

Aku ambil bantal dan kuganjal pantatku sehingga vaginaku munjung keluar. Mulut
Toni terasa panas sekali dan dengan semangat ia menciumi dan seruput-seruput ia
menjilati. Aku terbadai lagi dan orgasmeku memuncak untuk kesekian kalinya.
Lidah Toni berkali-kali masuk ke lubang vaginaku dan cairan demi cairan
dihisapnya. Kadang kadang ia menghisap dengan kencang dan pahaku sudah tak sadar
mengempit kepala Toni. “Sudah Ton!” kata Herman menarik Toni dan membuka paksa
pahaku, dia juga tidak sabaran jadinya. “Dan gantian Herman!” Aduh, gila
digigitnya bibir kemaluanku, rupanya saking semangat tergigit sedikit bibir
vaginaku, tapi ia juga semangat dan terasa lidahnya lebih panjang dan kasar lagi
dari lidah Toni dan Andi. Aku menggeruskan vaginaku ke mulutnya dan pahaku
mengempit kepala Herman di antara kedua pahaku yang sintal putih. Sementara Andi
sudah membuka celananya dan penisnya sudah keras sekali, disorongkannya ke
mulutku dan dengan rakus aku menerkam dan mengelomohi kepala penisnya. Toni juga
tadi melihat Andi, ia meremas-remas buah dadaku dengan semangat. Kadangkadang
aku agak menjerit karena sakit juga, mungkin gemes si Toni ini.

Herman masih asyik menyeruput vaginaku dan klitorisku, dia cari dan disedot.
Toni tadi tidak sampai mengisap-isap klitorisku. Tak lama Andi meletup
orgasmenya dan dengan rakus aku hisap kencang sambil meremas-remas batangnya dan
mengocok-ngocok supaya spermanya keluar semua. Kutelan habis semua sperma itu.
Toni ternganga lagi melihatku ganas seperti itu dan binal sekali. “Man, Man
sudah Man!” kata Andi. Herman dengan segan mengangkat kepalanya dari vaginaku.
Andi mengatakan, “Mbak Etty, kami perlu membuat eksperimen lanjutan, boleh tidak?”
Aku sudah tidak bisa berpikir karena ingin sekali penis-penis ini kuremas dalam
vaginaku.

Andi mengeluarkan pisau cukur Gillette dan katanya, “Man kamu ambil itu sabun
untuk cukur kita cukur jembut Mbak Etty!” Toni masih terus meremas-remas buah
dadaku dan kadang mempermainkan puting susuku, dan dihisap-isapnya juga.
Tanganku memegang batang penisnya dari luar celana. Kemudian aku bilang, “Kalian
tidak fair masak aku sendiri yang telanjang bulat kalian semua buka juga dong!”
Aku rasa aku mesti lapor ke Jaya Suprana di MURI karena kalau ada rekor buka
baju pasti mereka menang. Dalam sekejab sudah telanjang semua. Herman dan Toni
bulu kemaluannya masih halus-halus, mereka baru SMU kelas I, kalau tidak salah
ingatanku. Herman mengoleskan sabun di bulu-bulu kemaluanku sambil jarinya iseng
mencubiti klitorisku. Dan Andi mulai mencukur dari mulai perut bawahku dengan
hati-hati sekali, dan terasa bulu kemaluanku berjatuhan dan dingin di tempat
yang sudah bersih. Terus Andi maju dan sekitar bibir tepi-tepi vaginaku juga.
Ditariknya lembar bibir vaginaku dan dicukurnya pelan-pelan. Dan dalam beberapa
menit gundul sudah vaginaku. Andi mengambil kaca kecil dan menyuruhku duduk. Aku
mengangkang sambil duduk dan Andi meletakkan kaca itu di depan vaginaku, ha ha
ha lucu sekali dan klitrosisku tampak jelas nongol, bibir vaginaku merekah dan
kelihatan seperti kerang mentah.

“OK, sekarang giliranku,” kataku, “Kalian bertiga tiduran, kita lihat siapa yang
paling kuat, Mbak akan tunggangi kalian satu persatu dan yang paling kuat lama
malam ini boleh tidur sama Mbak sampai pagi hadiahnya,” kataku sambil senyum
dengan buas dan binalnya. Ketiganya cepat berbaring dan aku bilang, “Ambil
bantal semua, taruh bantal di bawah pantatnya!” Aku merasa liar sekali melihat
ketiga tiang bendera dari daging itu sudah berdiri tegak lurus. Hmm, aku mulai
dari Toni, dia berbaring di tengah dan aku jongkok di atas penisnya, kugenggam
batang itu dan kugosok-gosok kepalanya di mulut vaginaku. Pelan-pelan aku
jongkok lebih dalam dan kepala penisnya mulai masuk. Toni merem menikmati dan
mulutnya terbuka dan mendesah-desah keenakan. “Bless…” masuk semua dan aku turun
terus sampai terbenam dan aku mulai bergoyang berputar tanpa naik-turun dengan
cepat, genggaman vaginaku kukerahkan dengan kuat, terus kuputar searah jarum jam.
Buah dadaku yang montok bergoyang, satu di kiri diremas Andi dan yang kanan
diremas Herman, mereka juga ikut terengah-engah. Aku mulai mengulek penis Toni
ke depan dan ke belakang, berayun-ayun, pinggulku berputar-putar, dan terasa
hangat dan kerasnya penisnya di dalam vaginaku dan mata Toni terbelalak ke atas
sehingga kelihatan putihnya saja, dan badannya melengkung kejang.

Dalam 2 menit sudah orgasme dia dan semprotan maninya di dalam vaginaku panas
sekali. Dan aku sendiri karena buah dadaku diremas-remas kedua anak ini di kiri
dan di kanan juga tak lama ikut meledak. Suasana yang cabul ini menggelorakan
birahi, dan aku mengejangkan badanku menikmati orgasme entah keberapa. Kempitan
vaginaku membuat Toni agak kesakitan karena kuatnya otot dinding vaginaku.
Terasa klitorisku menyentuh rapat ke penis Toni, dengan terengah-engah aku
berlutut dan kucabut vaginaku dari penis Toni yang kuyup dengan sperma dan
cairan kewanitaanku. Aku merangkak pindah menungging di atas penis Herman, buah
dadaku bergantung bebas, aku ingin mengisap penis Herman dan menelan sumber awet
muda, tadinya aku juga maunya Toni aku sedot dulu spermanya yang penuh protein
itu, hanya vaginaku gatal sekali tadi. Dan setelah digaruk oleh kepala penis itu,
enak sekali, agak mending walau aku masih penuh birahi. Terasa Andi menggosok
vaginaku dengan tissue untuk melap mani Toni yang berleleran dan aku sudah tak
perduli. Kuraih batang penis Herman yang kulihat agak gemetar menahan gejolak
senangnya, ia membayangkan penisnya bakal aku sedot. Kuciumi dulu sepanjang
batang penis dari satu sisi ke sisi lain. kemudian kulekatkan lidahku di bagian
bawah kepala penisnya yang sudah berkilat-kilat basah dan kuputar sekitar penis
itu dengan lincah dan seketika menggelinjang Herman keenakan.

“Aduh Mbak Ettyyy…” dan tangannya seketika mencengkeram rambutku dan mendorong
agar penisnya masuk ke mulutku. Aku sengaja hanya menyentuh dengan ujung lidahku
di atas kepala penisnya, dan tanganku mengelus-ngelus buah zakarnya yang sudah
padat itu. Kuremas-remas buah pelir itu dan ciuman-ciuman ke batang penis
sekitar pelir membuat ia tambah liar dan sudah seperti kuda liar. Menggeram
minta agar aku menyedot. Ah anak muda perjaka. Aku masukkan kepala penisnya saja
ke dalam mulutku dan kukelomoh seperti makan es krim Walls saja laiknya atau
Lolipop. Pembaca wanita yang belum pernah nyoba anda kehilangan cara-cara yang
menakjubkan ini untuk memberi nikmat pada pasangan anda (pasangan di rumah
maupun di luar). Dan tanganku tetap menggocok pelir dan batang Herman sementara
itu dari belakang Toni memelukku dan memerah-merah buah dadaku dan eh gila si
Andi masuk ke selangkanganku yang sudah di lapnya dan ia menarik pantatku
sehingga aku terduduk dengan vagina di atas mulut Andi. “Uihhh geli sekalii…”
dan Andi karena sudah lebih pengalaman (siapa dong gurunya) memberiku kenikmatan
selangit. “Aahhh…”

Gila deh aku dan tiga anak muda-muda dan telanjang bulat semua. Sayang tidak ada
kamera video waktu itu. Kuhisap kencang sampai pipiku kempot dan lidahku
menyambar-nyambar kepala penis di dalam dan akhirnya Herman mengangkat tinggi-tinggi
pantatnya dan aku hampir tersedak penisnya masuk ke dalam rongga mulutku yang
dalam, dan… “Srot… srott…” Bertubi-tubi spermanya muncrat dan kusedot dan
kutelan habis. Mbak-Mbak, ini dia obat awet muda, rahasia lho. Dan Andi menyedot
terus klitorisku sehingga aku pun orgasme dan saking naik ke otak, mataku gelap
dan aku duduk menekan vaginaku di mulut Andi sambil berputar di situ. Aku
tumbang ke samping dan Andi bangun, mulutnya berbuih putih di sekitar bibirnya
sehingga aku tertawa melihatnya sambil terengah-engah. Dan Toni sudah ereksi
lagi, Andi juga dan Herman masih mencari nafas, penisnya separuh tegang. Kuambil
air di gelas dan sambil menenangkan nafas aku minum, eh lagi duduk gitu susuku
sudah diremas-remas lagi dan idih ini anak-anak, entah tangan siapa masuk
mengorek-ngorek vaginaku dan aku dipeluk dari belakang, siapapun aku sudah tidak
perduli.

Aku menikmati mereka malam ini. Ujian biologi? Hmm aku tahu mereka hanya buat
alasan saja. Telingaku dicium dan dijilat entah oleh siapa, perutku juga diciumi
salah satu anak, dan aku langsung spanning”Ayo Ton, maju-mundur, Mbak kepit
dengan tetek nih penismu, enak tidak.”

“Eeenakk… Mbakkkk…” gumamnya bingung.

Dia dengan canggung maju-mundur, keringat di buah dadaku menjadi pelincinnya.

“Man kamu berlutut di atas mulut Mbak dan sinikan penismu ke dalam mulut Mbak
lagi,” kataku.

Lalu akhirnya Andi menyemprotkan spermanya ke dalam vaginanya, dan disusul
Herman sambil mengerang kuhisap teras penisnya dan muncratlah spermanya memenuhi
mulutku. Toni masih terus menggesek-gesek penisnya dikepit buah dadaku, lalu dia
menyemprotkan spermanya sampai mengenai dagu dan muka.

Mereka lalu lemas berbaring di samping kanan dan kiriku, mereka benar-benar puas,
dan ilmu mereka jadi bertambah, ilmu yang mana? Ah aku tidak perduli, pokoknya
aku puas dan dapat pengalaman uang bermacam-macam. Sampai sekarang aku masih
membutuhkan seks terutama yang muda-muda, agar awet muda, dan aku benar bahagia
menikmati semuanya ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar